naonnya

Selasa, 07 Desember 2010

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Istilah ini pertama kali muncul berdasarkan hadis Nabi tentang Iftiraq (perpecahan umat) :
“umatku ini akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja. Para sahabat bertanya : “Siapa mereka itu wahai Rasulullah ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka itu yang mengikuti sunnahku dan jamaah para sahabatku pada hari ini” [HR Tirmidzi dan Ath-Thabrani]
Ahlus Sunnah = mengikuti sunnah Nabi
Wal Jama’ah = dan jama’ah para sahabat, serta selalu bersatu dalam jama’ah kaum muslimin.

Bani Umayah pernah mengklaim sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah untuk propaganda kekuasaannya, karena kenyataannya mayoritas kaum muslimin bersatu dibawah kepemimpinan khalifah dari kalangan mereka. Propaganda itu untuk menyudutkan kelompok-kelompok yang menentang dan memberontak terhadap Khalifah, yaitu kelompok Syiah, Khawarij.

Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kemudian dipopulerkan oleh Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H - 326 H) untuk memberi identitas kepada para pengikut theologi Asy’ariyah. Istilah itu untuk membedakan dengan kelompok Mu’tazilah dan berbagai aliran theologi sesat lainnya : Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah, Murjiah, Musyabibah, Mujasimah, Mu’atilah.

Pada perkembangan selanjutnya, Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq Bain Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Waljamaah yaitu:

1. Mutakallimin (ulama kalam/theologi) yaitu orang yang memahami secara pas masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum- hukum, janji dan ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan ummat, dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifat-sifat Tuhan) yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih) dan ta’thil (meniaakan sifat2 Allah) serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij dan sederet golongan bid’ah lainnya.

2. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqh, baik dari ahlur ra’yi maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifat2 Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang azali, membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan adanya ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga, jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik serta menetapkan kekekalan nikmat bagi ahli sorga dan kekelan siksa terhadap orang-orang kafir dalam neraka. Disamping itu, ia mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan tetap menghormati Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at di belakang para Imam yang tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan hukum dari Qur’an, hadits dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf (sejenis sepatu), jatuhnya
thalaq tiga, mengharamkan mut=92ah, dan memandang wajib mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.

3. Muhaditsin (ulama hadis) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalur-jalur Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih dan tidak, menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan kelemahan seorang perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah yang sesat.

4. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang kesusasteraan, Nahwu Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal al-Khalil, Abu Amr bin Al ‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Bashrah, yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah atau Khawarij.

5. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam qira’at Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya sesuai dengan aliran Ahlussunnah waljama’ah tanpa terpengaruh kepada pena’wilan para pengikut hawa nafsu yang sesat.

6. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya bahwasanya baik pendengaran, penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di depan sang Khaliq yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari pandangannya. Olehnya itu, mereka giat beramal tanpa banyak bicara, konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

7. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga kehormatan ummat Islam baik materil maupun moril dengan berupaya menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah waljama’ah.

8. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar Ahlussunnah waljama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.


Singkatnya, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mempunyai patron mengikuti dan menerima :
1. Mutakallimin (ulama2 kalam) : Asyariyah, Maturidiyah
2. Fuqaha (ulama2 Fiqih) : Bermazhab dengan mazhab 4 yg muktabar : Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali.
3. Muhaditsin (ulama2 hadis) : Para penulis kitab2 hadis : Sahih Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah, Muwatta' Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak Hakim, Ibnu Khuzaimah, Darimi, Daraquthni.
4. Ahlul Lughot (ulama2 bahasa) : Sibawaih, Al Khalil, Al Ashma'i, Al Muzani, Ibnu Malik, dll.
5. Mufassirin (ulama2 tafsir) : Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Jarir At Thobari, Qurthubi, Ibn Katsir, Fachrudin Ar Razi, Jalaludin Mahali, Jalaludin As Suyuthi, dll.
6. Mutasawwifin (ulama2 tasawuf) : Al Junaid, Abu Thalib Al Makki, Al Ghazali, Ar Rumi, Al Qusyairi, As Suhrawardi, Ibn Athoilah, dll.
7. Mujahidin : Para Sultan, Amir yang menyerukan Jihad fisabilillah.


Apabila ada yang menolak salah satu dari 7 kelompok diatas, maka boleh dibilang telah keluar dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, contohnya bila ada yang menolak ulama2 kalam, menolak hadis, menolak Imam Mazhab, menolak tasawuf, menihilkan jihad, dsb.

33333333333333333333333333333333333


Pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah

Proses pengangkatan Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah dilakukan didalam satu musyawarah atau pertemuan di Sagifah Bani Saidah (sebuah Balairung
di kota Madinah).
Pertemuan tersebut diadakan oleh orang-orang Anshar, dalam rangka memilih seorang Khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW. hal itu mereka lakukan dikarenakan saat itu orang-orang Anshar dan Muslimin lainnya berkeyakinan, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk seseorang sebagai penggantinya.
Pada awalnya kaum Anshar akan mengangkat seseorang dari mereka, yaitu Saad bin Ubadah untuk menduduki jabatan Khalifah. Namun setelah beberapa tokoh Muhajirin menyusul datang dan ikut bermusyawarah, maka diantara orang-orang Anshar ada yang bersikap agak lunak dan menyarankan agar dari Anshar diangkat seorang Amir dan dari Muhajirin diangkat seorang Amir.
Tapi Alhamdulillah, setelah Sayyidina Abu Bakar berpidato dan menerangkan keutamaan Muhajirin untuk menduduki jabatan Khalifah, maka akhirnya
orang-orang Anshar menyadari hal tersebut dan menerima saran-saran dari Sayyidina Abu Bakar.
Selanjutnya Sayyidina Abu Bakar mengakhiri pidatonya dengan sarannya, agar hadirin mengangkat salah satu dari sesepuh Muhajirin yang hadir di pertemuan tersebut, yaitu Sayyidina Umar atau Abu Ubaidah Ibnul Jarroh.
Mendengar saran yang penuh dengan keikhlasan dari Sayyidina Abu Bakar tersebut, Sayyidina Umar langsung menyahut : “Tidak, tidak mungkin saya diangkat sebagai pemimpin satu kaum sedang dalam kaum itu ada engkau.” Yang dimaksud oleh Sayyidina Umar tersebut adalah tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki jabatan khalifah, melebihi Sayyidina Abu Bakar. Memang keutamaan Sayyidina Abu Bakar bukan rahasia lagi bagi para sahabat.
Demikian diantara kata-kata Sayyidina Umar, selanjutnya seraya mengulurkan tangannya beliau berkata kepada Sayyidina Abu Bakar : “Ulurkan tanganmu, untuk aku bai’at.”

Setelah Sayyidina Umar membaiat Sayyidina Abu Bakar, hadirinpun segera berebut membaiat Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah.
Besoknya dimasjid Nabawi diadakan pembai’atan umum dan Alhamdulillah berjalan dengan baik dan lancar, dan saat itu tidak ada satu orangpun yang protes atau tidak menyetujui pembai’atan tersebut. Hal mana karena semua sepakat, agar kekosongan pimpinan harus segera diisi. Bahkan pemakaman Nabi terpaksa diundur, karena menunggu terpilihnya Khalifah.
Apabila ada keterlambatan dari dua tiga orang dalam membai’at dikarenakan alasan masing-masing, toh akhirnya semua menerima dengan ikhlas pengangkatan Sayyidina Abu Bakar tersebut.
Perlu diketahui bahwa sahnya seorang Khalifah, tidak harus dengan di bai'at oleh seratus persen Muslimin, tapi yang penting dibai'at oleh mayoritas Muslimin.
Hal ini dikuatkan dengan keterangan Imam Ali, dimana ketika Imam Ali berkirim surat kepada Muawiyah, beliau memberitahukan bahwa pengangkatan beliau sebagai Khalifah itu sah, karena beliau juga telah di bai'at oleh orang-orang yang telah membai'at Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar serta Sayyidina Ustman. Selanjutnya Imam Ali berkata :
Apabila dalam permusyawaratan itu diputuskan mengangkat seseorang, maka Allah akan meridhoinya dan semua yang hadir harus menyetujuinya, sedang bagi yang tidak hadir, tidak boleh menolak. Kemudian bila ada yang membangkang, maka harus diperingatkan dahulu, dan apabila tetap membangkang maka
harus di perangi “.

Demikian kata-kata Imam Ali, dimana diantaranya menunjukkan pengesahannya atas kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar serta Sayyidina Ustman. Disamping merupakan pengarahan-pengarahan dari beliau kepada kaum Muslimin, dalam menghadapi orang-orang yang tidak mengakui atau menolak kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Ustman.
Surat Imam Ali kepada Muawiyah tersebut dikirim saat Imam Ali diangkat sebagai Khalifah keempat dan surat ini dimuat dalam kitab Nahjul Balaghoh, satu kitab yang sangat diagungkan oleh orang-orang Syiah.
Yang perlu digaris bawahi dari permusyawaratan di Sagifah Bani Saidah tersebut adalah, bahwa yang mengadakan pertemuan itu, adalah orang-orang Anshar, bukan Sayyidina Abu Bakar atau Sayyidina Umar atau orang-orang Muhajirin yang lain. Karenanya kita umat Islam wajib berterima kasih kepada tokoh-tokoh Muhajirin, yang begitu mendapat informasi mengenai adanya pertemuan di Sagifah, segera mendatangi pertemuan tersebut. Sehingga perpecahan tidak sampai terjadi. Sebab dapat kita bayangkan, apa yang akan terjadi andaikata orang-orang Anshar sampai mengangkat Khalifah sendiri.
Disamping itu pertemuan di Sagifah tersebut, membuktikan tidak adanya wasiat mengenai penunjukan atau pengangkatan pengganti Rasulullah SAW. Sebab apabila ada wasiat dari Rasulullah, pasti dalam permusyawaratan tersebut akan menjadi pokok pembahasan. Tapi kenyataannya tidak ada satu orangpun yang menyampaikan argumentasinya mengenai adanya pengganti Rasulullah SAW. Memang saat itu ajaran Ibnu Saba’ belum ada, sebab dia belum masuk Islam.
Sedang argumentasi yang sering dibawa oleh orang-orang Syiah sekarang adalah hasil rekayasa ulama-ulama Syiah yang mengartikan hadits-hadits Rasulullah menurut selera mereka, demi untuk menunjang ajaran-ajaran mereka.
Apabila disana sini ada semacam tanda-tanda yang diartikan oleh beberapa orang sebagai isyarat untuk menjadi pengganti Rasulullah SAW setelah wafatnya, misalnya : Rasulullah SAW memerintahkan atau menunjuk Sayyidina Abu Bakar untuk menjadi penggantinya dalam mengimami shalat, atau Rasulullah mengangkat Sayyidina Ali sebagai pemimpin dalam perang Khaibar, atau Rasulullah mengangkat Ibin Ummi Maktum sebagai pemimpin (ad interim) di Madinah, disaat Rasulullah pergi berperang, atau Rasulullah mengangkat orang-orang lain sebagai pemimpin (ad interim) juga di Madinah, saat Rasulullah dalam peperangan-peperangan yang lain, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti penunjukan atau pengangkatan sebagai pengganti Rasulullah setelah wafatnya.
Perlu kita sadari bahwa masalah Khalifah, adalah masalah yang sangat penting. Karenanya apabila Rasulullah akan menunjuk seseorang untuk menduduki jabatan tersebut, pasti akan dikatakannya dengan jelas dan tegas dan tidak dengan
samar-samar.
Dalam hal ini seorang cucu Imam Ali yang bernama Hasan Al-Muthanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, ketika ditanyakan kepadanya, apakah hadits :
“ Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu “. itu merupakan Nash pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah, bila Rasulullah wafat ?. Beliau menjawab : Apabila yang dimaksud oleh Rasulullah itu kekhalifahan sesudahnya, maka beliau akan berkata dengan jelas sebagai berikut : “ Hai orang-orang, ini adalah penggantiku yang akan memimpin kalian sesudahku, maka dengarkanlah dia dan patuhi “.

Kemudian lanjut cucu Imam Ali tersebut : “ Saya bersumpah demi Allah, andaikata Allah dan Rasul Nya menunjuk dan memilih Ali untuk menduduki jabatan Khalifah tersebut, dan kemudian Ali tidak melaksanakannya, maka beliau adalah orang pertama yang meninggalkan perintah Allah dan Rasul Nya”.

Ketika penanya bertanya lagi : “Tidakkah Rasulullah pernah berkata : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu ?”. Beliaupun langsung menjawab: “ Demi Allah, apabila yang dimaksud Rasulullah itu mengenai Khalifah, maka beliau akan berkata dengan terang dan jelas, sebagaimana beliau menjelaskan mengenai shalat dan zakat, dan akan berkata : “ Hai orang-orang sesungguhnya Ali adalah pemimpin kalian sesudahku dan dia yang akan meneruskan perjuanganku”.

Itulah jawaban cucu Imam Ali mengenai hadits tersebut dan sekaligus sebagai petunjuk dari beliau mengenai tidak adanya wasiat dari Rasulullah SAW mengenai pengganti beliau.
Andaikata maksud hadits tersebut sebagai penunjukan dan pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat, sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ibin Saba’, maka pasti hadits tersebut akan menjadi pokok pembahasan dalam pertemuan di Sagifah Bani Saidah. Sedang kenyataannya tidak satu orangpun yang menyebut-nyebut hadits itu. Hal mana karena hadits tersebut memang tidak ada hubungannya dengan kekhalifahan, dan faham yang demikian itu sudah menjadi keyakinan kaum Muslimin saat itu, termasuk keyakinan Imam Ali dan Ahlul Bait yang lain. Bahkan apabila hadits tersebut, dimaksudkan sebagai penunjukan dan pengangkatan Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat, maka pertemuan untuk memilih Khalifah di Sagifah Bani Saidah tidak akan terjadi atau tidak sampai diadakan, sebab otomatis begitu Rasulullah wafat, Imam Ali langsung menjadi Khalifah, sebab beliau sudah diangkat oleh Rasulullah.
Namun kenyataannya Imam Ali tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pengganti Rasulullah dan tidak pernah menuntut kekhalifahan dari Sayyidina Abu Bakar, dengan membawa argumentasi atau menyebut hadits tersebut.
Demikian diantara bukti tidak adanya wasiat dari Rasulullah mengenai ditunjuknya Imam Ali sebagai Khalifah bila Rasulullah wafat. Karena apabila ada perintah atau wasiat tersebut pasti sudah dikerjakan oleh Imam Ali, apapun akibatnya.
Apabila ulama-ulama Syiah berkata, bahwa Imam Ali tidak melaksanakan perintah atau wasiat Rasulullah tersebut karena takut fitnah, maka keyakinan mereka itu justru menambah kesesatan mereka dan dapat menjurus kepada kekufuran.
Sebab kata-kata mereka itu bila dijabarkan, berarti Rasulullah menunjuk Imam Ali menjadi Khalifah itu untuk membuat fitnah atau agar terjadi fitnah. Karenanya menurut mereka, Imam Ali berkeyakinan lebih baik meninggalkan perintah Rasulullah daripada melaksanakan perintah atau wasiat Rasulullah yang dapat membawa fitnah dan malapetaka bagi umat Islam.
Itulah argumentasi ulama-ulama Syiah, yang apabila kita amati justru menuduh dan menghina Rasulullah dan Imam Ali. Padahal kita umat Islam berkeyakinan, bahwa Rasulullah diutus oleh Allah sebagai Rahmatan Lil Alamin dan tidak untuk membuat fitnah.
Adapun Imam Ali, maka dalam sejarah versi Ahlussunnah Waljamaah, beliau dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif lagi bijaksana. Namun dalam mempertahankan haknya sebagai Khalifah, beliau sampai berperang dengan siapa saja yang dianggapnya memberontak. Seperti dalam perang Jamal, perang Shiffin dan dengan orang-orang Khowarij.
Beliau tidak mengenal istilah takut fitnah atau takut mati dalam mempertahankan haknya sebagai Khalifah, apalagi dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul Nya. Itulah diantara sifat-sifat mulia Imam Ali, namun oleh ulama-ulama Syiah, beliau sering digambarkan sedikit-sedikit Tagiyah atau sedikit-sedikit takut ini dan takut itu, sampai meninggalkan dan menghianati perintah Allah dan Rasul Nya.
Demikian sedikit mengenai jalannya pertemuan atau permusyawaratan di Sagifah Bani Saidah. Sehingga dapat kita pastikan, bahwa pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu atau diatur sebelumnya, tapi secara tiba-tiba atau dalam istilah Sayyidina Umar disebut Faltah. Dimana asal mulanya orang-orang Anshor merencanakan akan mengangkat seseorang dari mereka sebagai Khalifah, tapi Allah menghendaki Sayyidina Abu Bakar yang menjadi Khalifah, sehingga secara tiba-tiba hadirin membai'at Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah dan selamatlah Muslimin dari perpecahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.